Duta Masyarakat, Jumat 22 November 2019.
Pemerintah akan menyiapkan Kartu Pra Kerja untuk 2 juta tenaga kerja. Rencananya kartu tersebut akan diluncurkan pada awal tahun 2020. Seperti dikutip dari website Sekretariat kabinet, setkab.go.id Kartu Pra kerja ini dianggarkan sebesar Rp 10 triliun.
Pemerintah akan menyiapkan Kartu Pra Kerja untuk 2 juta tenaga kerja. Rencananya kartu tersebut akan diluncurkan pada awal tahun 2020. Seperti dikutip dari website Sekretariat kabinet, setkab.go.id Kartu Pra kerja ini dianggarkan sebesar Rp 10 triliun.
Pemanfaatan Kartu Pra Kerja ini adalah untuk triple skilling, upskilling, re-skilling melalui beberapa training atau pelatihan yang berguna meningkatkan ketrampilan calon tenaga kerja hingga siap memasuki dunia kerja baru yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Nantinya pemerintah akan menggandeng lembaga-lembaga pelatihan dan membangun mekanisme tracking online untuk memonitor peningkatan kapasitas skill calon pekerja penerima kartu pra kerja.
Dengan Kartu Prakerja, calon tenaga kerja penerima program bisa memilih berbagai macam pelatihan ketrampilan yang mereka inginkan. Mereka boleh memilih pelatihan barista kopi, animasi, desain grafis, bahasa inggris, teknisi komputer, programming, koding dan masaih banyak lagi yang akan disediakan melalui platform digital.
Yang menjadi persoalan adalah setelah mengikuti pelatihan semua calon penerima Kartu Pra Kerja ini akan dikemanakan? Apakah cukup mengikuti pelatihan kemudian mendapatkan sertifikat dan dengan sertifikat keterampilan tersebut sudah mencukupi diterima kerja di industri ataupun dunia usaha?
Shane Cragun dan Kate Sweetman (2016) menjelaskan tentang efek berantai disruption akibat pemakaian teknologi digital yang mempengaruhi pola orang bekerja. Mereka menyatakan pada masa inilah berakhirnya era perantara. Kegiatan ekonomi dilakukan secara serba langsung atau disebut juga era free agent. Bebas dari orang tengah, makelar, penghubung, atau perantara dari satu kegiatan menuju kegiatan ekonomi lain.
Akibatnya, kontak-kontak sosial antara perusahaan dan lulusan-lulusan sekolah akan berbeda dengan yang biasa dilakukan generasi sebelumnya saat bekerja. Kontrak ikatan kerja antara perusahaan dan karyawan yang biasanya diikat sebagai karyawan tetap dalam jangka waktu tertentu sampai dengan pensiun tidak bisa dilakukan. Bila dulu perusahaan menawarkan permanent job, kini menjadi job on demand. Pekerjaan yang hanya dilakukan pada saat dibutuhkan. Ini didukung dengan keberadaan platform aplikasi yang menawarkan pekerjaan-pekerjaan freelancer dengan spesifikasi keahlian tertentu dan bisa didapatkan tenaga kerja yang ahli dalam jumlah yang melimpah.
Kemunculan aplikasi web seperti freelanceralliance.com, upwork.com atau yang dalam bahasa Indonesia ada sribulancer, projects.co.id, freelancer indonesia, menjadikan pekerjaan "on demand" ini semakin berkembang dengan pesat. Mereka tak hanya bekerja di satu kota, tetapi juga melayani pekerjaan-pekerjaan dari klien di kota yang berbeda-beda. Belakangan ini sering kita saksikan profesi internet marketing yang bekerja di banyak perusahaan dan mendapat hasil dari komisi penjualan tidak melekat pada satu perusahaan saja. Bahkan di suatu desa Tunjungmuli Karangmoncol di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah remajanya hampir semua menjadi internet marketing sehingga daerahnya terkenal menjadi kampung marketer. Banyak tenaga kerja yang lebih senang bekerja lepas ketimbang menjadi pegawai, dan harus pindah ke kota meninggalkan rumah dan keluarga.
Ekosistem Kartu Pra Kerja
Bermaksud ingin berbagi pengalaman dari apa yang telah dilakukan Pemerintah Jawa Timur melalui Dinas Pendidikan dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya lewat program Double Track (DT) yang diperuntukkan bagi siswa SMA yang tidak berencana melanjutkan ke Perguruan Tinggi, kiranya dalam hal penyiapan Kartu Pra Kerja perlu dibuat ekosistem yang tidak sekedar pelatihan, namun juga dibangunnya platform aplikasi yang menghubungkan dengan mitra DUDI, serta juga pengenalan marketplace sebagai wadah berwirausaha dengan modal minimal.
Sedikitnya ada lima hal yang perlu disiapkan dalam menyiapkan ekosistem Kartu Pra Kerja, agar tidak hanya berhenti pada pelatihan dan pemberian sertifikat. Pertama, penyiapan para trainer yang akan mengisi pelatihan-pelatihan dengan berbagai macam keterampilan teknis seperti teknologi pangan, tata busana, kendaraan bermotor, desain grafis dan banyak lagi bidang ketrampilan yang memungkinkan orang bekerja secara mandiri ataupun freelancer.
Kedua penyiapan aplikasi ruangtraining.net untuk memantau dan mengukur kinerja peserta pelatihan. Baik itu kehadirannya maupun hasil karya produk hasil pelatihan yang didokumentasikan dalam bentuk foto produk dan juga portofolio kegiatan peserta pelatihan.
Ketiga, setelah selesai mengikuti pelatihan kemudian penerima Kartu Pra Kerja, diarahkan untuk mengisi dan mengupdate CV online melalui ruangkarir.net. Aplikasi ini mempertemukan antara dunia usaha dan dunia industri yang membutuhkan tenaga kerja, dengan peserta pelatihan yang sudah mempunyai skill tertentu sesuai dengan kebutuhan industri. Melalui ruangkarir ini perusahaan bisa memilih sekian ribu calon tenaga kerja lengkap dengan portofolio dan cv online yang siap diwawancarai ataupun dipilih sebagai tenaga kerja.
Keempat, bagi mereka yang belum mendapatkan pekerjaaan atau menyukai dunia wirausaha, dikenalkan penguasaan ketrampilan memproduksi dan memasarkan melalui marketplace ruangdagang.net
Kelima, dan jika masih belum mendapatkan pekerjaan, ataupun belum bisa berwirausaha, calon tenaga kerja bisa meningkatkan kapasitas kemampuannya untuk terus belajar secara mandiri di ruangtraining.net. Tersedia berbagai macam tutorial dan tempat magang yang bisa berguna untuk meningkatkan skillnya guna meraih kesempatan kerja yang diidamkan.
Masalahnya, sudah siapkah lembaga-lembaga pendidikan menyiapkan pekera-pekerja on demand ini? Maukah lembaga pendidikan kita mengubah kurikulum, cara belajar-mengajar, dan meremajakan aturan-aturan standar pendidikan. Sudah siapkah para orangtua menerima realitas baru anaknya yang disekolahkan tinggi-tinggi tidak menjadi karyawan ataupun pegawai, namun berubah menjadi tenaga kerja yang tidak hanya sekedar "tahu" tetapi juga "bisa" mewujudkan gagasannya menjadi sesuatu yang menghasilkan dan membuatnya memperoleh kemandirian ekonomi.
Membangun ekosistem seperti ini jauh lebih penting ketimbang hanya menyiapkan berbagai macam bentuk pelatihan dan pemberian sertifikasi. (***)
Fajar Baskoro
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Teknologi Informasi ITS dan Fasilitator Program Double Track Dinas Pendidikan Jatim-ITS