Facebook: Guru Menulis Terbaik di Dunia
September 9, 2017
Saya punya teman, ibu-ibu. Lima tahun yang lalu setiap kali ketemu saya selalu bilang: “ajarin saya nulis donk. Saya pengin banget bisa nulis kayak mas Siwo.”
Dia selalu mengeluh: “Saya sulit menemukan ide untuk ditulis… Kalaupun ketemu ide, saya kesulitan menuangkannya ke dalam tulisan… Saya nggak bisa membikin kerangka tulisan yang sistematis… Kalau nulis, satu kalimat dengan kalimat berikutnya nggak nyambung… Setelah selesai nulis, saya baru sadar bahwa alurnya kacau-balau.” Dan segudang keluhan lain ia tumpahkan.
Semuanya berubah sejak tiga tahun lalu. Saat si ibu punya akun Facebook. Sejak saat itu dia tidak lagi “mengganggu” saya dengan segudang keluhannya. Dan betul, ketika iseng-iseng saya tengok isi status update-nya di Facebook: “Wow… ciamik sekali tulisannya!!!”
Begitu rapi si ibu meng-compose sebuah tulisan, walaupun dalam bentuk status update. Dari tulisannya yang panjang-sistematis; judulnya yang seksi-menggoda; pilihan katanya yang pas dan casual; logikanya runut; alurnya mengalir deras; pokoknya ciamik abis
Siapa yang ngajarin si ibu menulis? Facebook.
Bagaimana Facebook Mengajari Kita Menulis?
Ada tiga tips jitu bagaimana Facebook mengajari kita menulis. Ini berbeda dengan cara guru SD dan SMP kita dulu mengajari kita menulis. Cara mereka kuno, boring, sarat teori, penuh dengan “juklak” ini-itu, dan begitu membebani karena kita dituntut harus mendapat nilai 10.
#1. Intrinsic Motivation: “Eksis-Narsis”
Tips paling ampuh Facebook dalam mengajari kita menulis adalah bukan dengan cara memberi nilai rapor 10. Tapi dengan memberi ruang ekspresi, yaitu: narsis.
Kita begitu passionate menulis di Facebook (bahkan bisa puluhan status seharinya) karena kita mendapatkan “social reward” yang tak ternilai berupa: “likes”, “mention”, “share”, komentar, pujian, salut, respect, dan apresiasi dari teman.
Dalam proses pembelajaran, inilah yang disebut intrinsic motivation. Yaitu semangat belajar yang datang dari dalam diri kita (intrinsic), bukan dari luar (extrinsic) seperti dari guru atau orang tua kita. Intrinsic motivation adalah faktor paling krusial dalam proses pembelajaran, dan Facebook menciptakannya dengan sangat cantik dan ciamik.
#2. Peer Learning
Kedua, Facebook mengajari kita menulis dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara guru mengarang kita di SD/SMP, yaitu menggunakan pendekatan “peer to peer”. Facebook tidak memberi kita teori menulis. Ia juga tidak memberikan tips-tips “how to write effectively”.
Yang ia lakukan adalah menyediakan collaborative platform dimana kita bisa saling belajar menulis satu sama lain. Ketika saya tanya si ibu bagaimana ia bisa secepat ini piawai menulis, jawaban dia enteng: “saya niru-niru aja postingan temen-temen, lama-lama juga bisa sendiri”.
Inilah yang disebut John Dewey (Democracy and Education, 1916) sebagai peer learning. Melalui platform yang disediakan Facebook, para pembelajar seperti si ibu berinteraksi satu sama lain untuk mewujudkan tujuan pembelajaran bersama yaitu: bisa menulis.
#3. Gamifikasi
Sebagai booster, Facebook juga menggunakan pendekatan gamifikasi (gamification) untuk memacu kita agar terus-menerus berlatih menulis. Bagaimana kita bisa begitu antusias dalam sehari puluhan kali “berlatih menulis” melalui status updates kita di Facebook? Padahal dulu pada waktu SD, kita dapat pelajaran mengarang sekali seminggu saja boring-nya minta ampun.
Kuncinya adalah gamifikasi. Karena ada carrot and stick di situ, yaitu: likes, share, mention, pujian, apresiasi, dan riuh rendah tepuk tangan teman-teman kita di media sosial.
Berkat Facebook kini semua orang jadi piawai menulis dan mengarang. Kata pakar, “Facebook has create a renaissance in the written word.” Dan menariknya, Facebook mengajari kita menulis bukanlah by design. Bahkan saya yakin, sampai ditulisnya artikel ini Facebook pasti belum sadar bahwa ia adalah guru menulis terhebat di dunia.
Inilah era prosumer. Konsumen seringkali lebih cepat dan lebih smart ketimbang pemilik platformnya sendiri.
The Death of School As We Know It!
Menutup tulisan ini saya ingin mengajak kita semua untuk sedikit merenungkan proses yang dialami si ibu dan kita semua para Facebookers. Beginilah bentuk pembelajaran (learning) kini dan ke depan. Bentuk pembelajaran gaya baru.
Di tahun 1917 mobil baru bisa melaju 45 km/jam; bola lampu dan telepon sedang hot-hotnya; transistor, komputer dan digital bahkan belum lahir. Kini 2017 seluruh teknologi tersebut maju super pesat mengikuti deret ukur. Apalagi kini kita memasuki era disrupsi.
Tapi ironis, kondisi pembelajaran di kelas tahun itu masih tak beda jauh dari kondisi kelas hari ini. Itulah pendidikan, institusi yang paling sulit berubah.
Karena itu sekolah-sekolah kita harus berubah. Gaya belajar seperti para Facebookers di atas pelan tapi pasti akan merambah bidang-bidang lain seperti: coding, programming, artificial intelligence, big data analysing, biocomputing, DNA recombining, dan seabrek ilmu masa depan lainya.
Kini kita memasuki era social learning dimana belajar dilakukan di dalam collaborative platform (seperti Facebook salah satunya) secara bersama-sama, self-motivated, highly-productive, fun, dan sangat entertaining. Melihat perkembangan disruptif semacam ini kita melihat, sekolah-sekolah kita semakin tidak relevan.
Dan kalau sekolah sudah tidak relevan, maka ia akan punah di telan jaman.